Sepenuhnya
Duka, Ketika Anak dan Induk Di-Minyak Airkan
di hari yang cerah,
yang menjadi gerah,
yang menjadi basah…
aku mengucap selamat karena kau tetap
terlihat indah
aku memang tidak pandai menyanjung
sebab aku bukan orang yang gampang kagum
lihat ! lihatlah tabur-tabur bunga di
pemakaman
bertebaran di potret nyata masa muda
saya
sementara orang-orang yang selalu
bahagia ini,
tlah sungguh-sungguh membuatku lesu dimakan
iri
kurangkai teduh mimpi agar hati tidak
melulu tersakiti
agar bibir tidak bertubi mencaci maki
berangsur beku dan tak kembali mencair
terus kutapaki taman hidup tanpa ragam
ritme-retme yang saling berkejauhan
betapa mata dan kaki tak bersedia lagi
memadu kasih
aku terlepas sebagai burung yang
disangkarkan
sayap-sayap mengepak terjaring kebuntuan
sunyi
mendekatlah wahai peri tanah gersang
ijinkan kupinjam angin dari lembah
teguhmu
sejenak kuingin tertidur pulas pada
cerah embun tanpa serat daun
setelah lelah menjemur pikir diatas
tumpukan jerami tanaman padi yang gagal tuai
sepotong luka bersemedi di periuk asa
asa yang dimentahkan lalu dikandangkan
sebagai sampah burik
tempat ini pun telah menjadi demikian
berisik
Ibu, janganlah kau mengutukku menjadi
batu
jika rentetan pemberontakan aku
gerilyakan
karena karnivora juga tidak pernah
memakan daging induknya
barangkali ada tafsiran-tafsiran yang
memang aku tidak mau memahami
sehinga perang mulut kerap terjadi
meledak disini,
di tempat ini,
di kemarin-kemarin hari…
ini tersebab rangkum jalan terik yang
kalian petik
tiada ada yang lebih akhir kecuali
gemerincing guci dan piring
tak lihatkah si bungsu yang meratap
penuh haru,
seperti yatim piatu tanpa punya mimbar
mengadu
susah payah ia menyeka peluh bening di
kedua mata kecilnya
sementara rengek sendunya diharamkan
segala macam peluk mesra
mungkin hati kecilnya bertanya-tanya
kenapa begitu aneh orang-orang dewasa
bocah yang ditambati pita-pita duka di
luar jangkauan usia
doakan saja agar tubuhnya setangguh
lempeng baja,
yang lama bertahan meski terus ditempa hujan
ini aku dan seluruh titik beku yang
berserah
jarum jam mengantar kalian pada tanah
lapang yang tak ingin kami tuju
yang menjadikan jarak di antara letak
telapak kaki kita
sebab ruang ambisi yang kalian kunci,
dan dengan sengaja kalian melupa bagaimana
cara membukanya
dan kami sama sekali tak mengetahui
dimana ngarai yang membawa ke tempat damai
Ibu, janganlah kebencianmu,
kebenciannya, menjadikan engkau terlupa
akan ruas-ruas, pelepah-pelepah, darah
dagingmu sendiri
sebab ini sangatlah tidak kukehendaki,
sebab jika ini sampai benar-benar
terjadi,
maka perihal ini, adalah cerita yang
sepenuhnya duka
Jogjakarta, 2012
No comments:
Post a Comment