Laut
Menulis Kesunyian
pernah
suatu hari, ibu dan ayah mengajariku menulis kesunyian di laut
ketika
saat itu, aku ingin mencatat laut sebagai kekasih
dan
aku percaya bahwa laut adalah bapakku
di
mana aku dilahirkan dari peluh dan keringatnya
dari
biduk yang suram dan hendak karam
hampir
setiap malam, aku dan ibu duduk di pasir
dan
kami menunjuk bintang, bintang paling terang
kami
aduk-aduk malam ke dalam sunyi
lalu,
kami berjalan menuju lautan, menembus ombak, menembus karang
di
sana, dari kedalaman lautan, ibu mengajariku mengarang kebahagiaan
kami
peluk laut dengan mesra, seperti terakhir kali aku memeluk rindu
rindu
pada kehidupan yang tidak ada runyam, tidak ada ribut dunia,
tidak
ada darah dan bau mesiu, tidak ada mayat, tidak ada luka
dan
di lautlah pertama kali, aku menggigil memeluk luka seperti memeluk boneka
laut,
aku akan selalu mengenangnya di catatanku
ketika
saat itu, aku paham hanya ada bau ibu, hanya ada bau mesiu
di
laut, aku kehilangan ibu, kehilangan ayah
sekonyong-konyong
aku merasa lelah, merasa jengah
ternyata
selama ini aku salah;
laut
tak bisa kuajak memeluk luka, dan aku marah!
aku
putar payung teduh, dan ia membisikan
halus di telingaku;
jangan mengadu
pada gunung dan laut,
karena gunung dan laut tidak punya rasa
aku
putus asa...
lalu
aku pergi lagi, mencoba menembus lagi laut yang lain
laut
yang di sana, airmataku mengering dan aku hampir lupa
bagaimana
caranya menangisi perpisahan
dan,
orang bilang ini surga, ketika aku merasa bertahan
merasa
sangat nyaman ditidurkan oleh kesunyian
pun,
aku masih percaya, kalau laut adalah ibuku yang suram
di
mana kami bersama perlahan tenggelam
Depok, September
2012
*Payung Teduh adalah sebuah grup musikalisasi puisi asal Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Telah menelurkan album yang berisi
lagu-lagu dengan lirik yang sarat makna dan puitis
Dua Episode Ibu
Dua Episode Ibu
# Ibu dan Laut
di laut,
perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang
sekonyong-konyong terasa asing
Ibu
pertama kali bertemu ayah di bibir pantai
di
atas pasir, ibu melepas masa muda
lalu
Ibu memandang laut lepas, melihat kehidupan terhampar luas
di
sanalah, Ibu pertama kali mengerti,
bahwa,
ia akan menulis kesunyian di lautan,
meski
tanpa nyanyian
di
laut, ibu mencium hangat bau kerinduan.
Setelah
waktu berjalan mundur
Ayah
yang masuk ke asin laut, anak-anak yang terlahir
di
atas pasir, rumah-rumah yang menggigil mengucap sunyi,
jejalanan
yang mengutuk sepi, Ibu ingat ia pernah
mengadu
pada laut meski barang sekali; setelah ayah tak kembali.
di
laut, perempuan menulis kesunyian masing-masing
seperti
ketika Ibu terkenang, bibirnya dilumat bibir ayah
untuk
pertama kali, dia ia melepas masa muda di atas pasir
dulu
ia juga memandang laut lepas, sebelum hatinya telah keropos sendiri
sebelum
ia sadar ia beranjak usia yang semakin merenta menua
dan
ia kini menulis kegelisan di laut, ia kunyah-kunyah sendiri
kesedihan,
meski tanpa ayah!
# Ibu dan Cermin
di laut,
perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang
sekonyong-konyong terasa asing
hingga kini,
hati dan pikiran Ibu bagai menggasing
setelah
mengunyah-ngunyah kesedihan tanpa Ayah,
Ibu menghapus
kesunyian purba. Ibu tak lagi memandang lautan.
kini, di depan
cermin, perempuan menulis kesunyiannya…
di
depan cermin, Ibu melihat kehidupan!
setelah
ayah tak kembali, ibu kawin lagi
dan
beranak lima
luka
di pipinya belum kering, luka di hatinya terlalu sering
Ibu
berkaca, di depan cermin
setelah
semalaman perang mulut dengan Bapak. Ibu benci!
Bapak
bilang, “Dasar kau pelacur!”
Ibu
menangis, berlari mencari kaca
di
sana ia melihat kehidupan!
malam
teman Ibu paling mesra.
dan
cermin kini, jadi teman Ibu mengenang cinta
setelah
ia berdiri di depan cermin, ia melihat masa lalu;
di
dapur, di ruang makan, di kamar mandi, di tangga
atau
di taman belakang, Ibu mengenang ia bercinta
melihat
Bapak masih belum beringas serigala
sebelum
Bapak bagai anjing yang menjulur-julur lidahnya
sebelum
Bapak bagai binatang mengendus-ngendus kemaluannya
ketika
Ibu melihat hari belum terlalu begitu senja
lalu
setelah itu, Ibu kembali berkaca, di depan cermin
yang
kini buram, dan hati jadi Ibu geram, naik pitam!
di
depan cermin, yang tersisa adalah
perempuan
tua yang tidur sunyi di ranjang,
menanti
ajalnya yang belum tahu kapan kunjung datang
dan
Ibu kembali bercermin, setelah malam menjadi sangsi
setelah
angin dingin menjadi saksi, setelah cermin pucat pasi,
setelah
kenangan Ibu jadi basi, setelah semua mimpi jadi ilusi,
setelah
semua tak lagi tersisa di depan cermin,
Ibu
gantung diri. Bapak bunuh diri
di laut dan di
cermin, perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang
sungguh maha asing!
Depok, 2012
No comments:
Post a Comment