1/05/2013

42



Laut Menulis Kesunyian


pernah suatu hari, ibu dan ayah mengajariku menulis kesunyian di laut
ketika saat itu, aku ingin mencatat laut sebagai kekasih
dan aku percaya bahwa laut adalah bapakku
di mana aku dilahirkan dari peluh dan keringatnya
dari biduk yang suram dan hendak karam

hampir setiap malam, aku dan ibu duduk di pasir
dan kami menunjuk bintang, bintang paling terang

kami aduk-aduk malam ke dalam sunyi
lalu, kami berjalan menuju lautan, menembus ombak, menembus karang
di sana, dari kedalaman lautan, ibu mengajariku mengarang kebahagiaan

kami peluk laut dengan mesra, seperti terakhir kali aku memeluk rindu
rindu pada kehidupan yang tidak ada runyam, tidak ada ribut dunia,
tidak ada darah dan bau mesiu, tidak ada mayat, tidak ada luka
dan di lautlah pertama kali, aku menggigil memeluk luka seperti memeluk boneka

laut, aku akan selalu mengenangnya di catatanku
ketika saat itu, aku paham hanya ada bau ibu, hanya ada bau mesiu
di laut, aku kehilangan ibu, kehilangan ayah

sekonyong-konyong aku merasa lelah, merasa jengah
ternyata selama ini aku salah;
laut tak bisa kuajak memeluk luka, dan aku marah!
aku putar payung teduh, dan ia membisikan halus di telingaku;
jangan mengadu pada gunung dan laut, karena gunung dan laut tidak punya rasa
aku putus asa...

lalu aku pergi lagi, mencoba menembus lagi laut yang lain
laut yang di sana, airmataku mengering dan aku hampir lupa
bagaimana caranya menangisi perpisahan
dan, orang bilang ini surga, ketika aku merasa bertahan
merasa sangat nyaman ditidurkan oleh kesunyian

pun, aku masih percaya, kalau laut adalah ibuku yang suram
di mana kami bersama perlahan tenggelam


Depok, September 2012


*Payung Teduh adalah sebuah grup musikalisasi puisi asal Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Telah menelurkan album yang berisi lagu-lagu dengan lirik yang sarat makna dan puitis
Dua Episode Ibu


# Ibu dan Laut
di laut, perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang sekonyong-konyong terasa asing

Ibu pertama kali bertemu ayah di bibir pantai
di atas pasir, ibu melepas masa muda
lalu Ibu memandang laut lepas, melihat kehidupan terhampar luas
di sanalah, Ibu pertama kali mengerti,
bahwa, ia akan menulis kesunyian di lautan,
meski tanpa nyanyian

di laut, ibu mencium hangat bau kerinduan.
Setelah waktu berjalan mundur
Ayah yang masuk ke asin laut, anak-anak yang terlahir
di atas pasir, rumah-rumah yang menggigil mengucap sunyi,
jejalanan yang mengutuk sepi, Ibu ingat ia pernah
mengadu pada laut meski barang sekali; setelah ayah tak kembali.

di laut, perempuan menulis kesunyian masing-masing
seperti ketika Ibu terkenang, bibirnya dilumat bibir ayah
untuk pertama kali, dia ia melepas masa muda di atas pasir
dulu ia juga memandang laut lepas, sebelum hatinya telah keropos sendiri
sebelum ia sadar ia beranjak usia yang semakin merenta menua
dan ia kini menulis kegelisan di laut, ia kunyah-kunyah sendiri
kesedihan, meski tanpa ayah!


# Ibu dan Cermin

di laut, perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang sekonyong-konyong terasa asing
hingga kini, hati dan pikiran Ibu bagai menggasing

setelah mengunyah-ngunyah kesedihan tanpa Ayah,
Ibu menghapus kesunyian purba. Ibu tak lagi memandang lautan.
kini, di depan cermin, perempuan menulis kesunyiannya…

di depan cermin, Ibu melihat kehidupan!
setelah ayah tak kembali, ibu kawin lagi
dan beranak lima
luka di pipinya belum kering, luka di hatinya terlalu sering

Ibu berkaca, di depan cermin
setelah semalaman perang mulut dengan Bapak. Ibu benci!
Bapak bilang, “Dasar kau pelacur!”
Ibu menangis, berlari mencari kaca
di sana ia melihat kehidupan!

malam teman Ibu paling mesra.
dan cermin kini, jadi teman Ibu mengenang cinta
setelah ia berdiri di depan cermin, ia melihat masa lalu;
di dapur, di ruang makan, di kamar mandi, di tangga
atau di taman belakang, Ibu mengenang ia bercinta
melihat Bapak masih belum beringas serigala
sebelum Bapak bagai anjing yang menjulur-julur lidahnya
sebelum Bapak bagai binatang mengendus-ngendus kemaluannya
ketika Ibu melihat hari belum terlalu begitu senja
lalu setelah itu, Ibu kembali berkaca, di depan cermin
yang kini buram, dan hati jadi Ibu geram, naik pitam!

di depan cermin, yang tersisa adalah
perempuan tua yang tidur sunyi di ranjang,
menanti ajalnya yang belum tahu kapan kunjung datang

dan Ibu kembali bercermin, setelah malam menjadi sangsi
setelah angin dingin menjadi saksi, setelah cermin pucat pasi,
setelah kenangan Ibu jadi basi, setelah semua mimpi jadi ilusi,
setelah semua tak lagi tersisa di depan cermin,
Ibu gantung diri. Bapak bunuh diri


di laut dan di cermin, perempuan menulis kesunyian masing-masing
kesunyian yang sungguh maha asing!


Depok, 2012

No comments:

Post a Comment