Memori Kopi Pagi di
Bukittinggi
Laksana diapit Singgalang dan Marapi disitulah pecah
perang padri,
Dan akhir semuanya jelas dan gamblang sekali, padri
habis dibasmi,
Sang tuanku gontai melangkahkan kaki, mungkin tidak
sampai hati
Melihat bagaimana semua pada berakhir seperti ini,
harapan pergi.
Cita-
cita tak jelas lagi, semangat bisa terus berkobar bak nyala api,
Tetapi
jika bayonet kumpeni terus saja menembus diri, jiwa dan hati,
Bagaimana
bisa api tetap garang dikobarkan guna iringi nyanyi elegi?
Semua
harus berhenti, serahkan saja semua pada waktu serta hari
Yang
biasanya memang ahli dan jagoan menyembuhkan luka nyeri.
Dan … memori kopi pagi di kaki Bukittinggi akhirnya
tersimpan rapi,
Sementara Fort
de Kock yang konon menyimpan bergudang amunisi
Ditopang oleh kaki-kaki kokoh bukit Jirek yang kala
disinari matahari,
Dikitari kebun-kebun kopi, konon indah dan garangnya
tidak terperi,
Menjadi saksi betapa sengit pertikaian antar keyakinan
dan idiologi.
Langkah berderap, tangan berayun, jiwa menari, sukma
bernyanyi,
Inilah kilasan alam berbukit tinggi, hawanya sejuk,
kebunnya kopi,
Perannya menjulang tinggi mewarnai lintasan sejarah
republik ini.
Nama
pemberian kumpeni tetap bertahan lama di ingatan pribumi,
Walau
pada akhirnya setelah semua nagari resmi milik ibu pertiwi
Nama
bukit tinggi jadi satu pertanda betapa eratnya ikatan pematri.
Lalu semuanya melangkah seiring derapnya pembangunan
negeri.
Kumpulan
nagari berubah menjadi ibukota nan ramai permai sekali.
Kumpeni, saudara tua, negeri kincir angin, lalu republik
pertiwi NKRI,
Sempat juga menjadi payung pemerintahan darurat untuk
republik ini,
Kota
ini, entah nasib entah memang takdirnya, tetapi jelas berkali-kali
Dijadikan pusat kendali, entah untuk perang atau hanya
berbenah diri,
Bahkan
PRRI Permesta berani dan secara resmi menjadikan kota ini
Sebagai ibupusat negeri yang tentu saja segera
ditumpas prajurit TNI.
Sekarang
di kota ini memang tak terdengar lagi gejolak lepaskan diri,
Dan
terus sibuk berbenah diri membangun pada segala sektor potensi,
Semua
yang pernah ada, termasuk kebun kopi, warisan alam nagari,
Lembah, gunung, ngarai, danau, dan bahkan lintasan rel
kereta api,
Semua dipoles solek agar lebih menarik bagi wisatawan
luar negeri.
Bahkan anak negeri berlomba-lomba kembangkan ilmu potensi
diri,
Agar
tak ketinggalan kala berderap ikut memasuki dunia tekonologi.
Rumah gadang memang menarik, atap tanduk kerbau punya
jati diri,
Lembah, ngarai, kebun dan danau memang elok permai,
akan tetapi
Jika
hanya mengandalkan ini tanpa sentuhan tekonologi dan inovasi,
Orang tetap datang tetapi bagaimana dengan awak dan
diri pribadi?
Bukankah hanya menjadi tontonan serta penonton majunya
negeri?
Semakin hijau daunnya, semakin merah kulit buahnya,
itu kebon kopi.
Kopi
dihidangkan di mana-mana, pagi siang malam, tak jeda berhenti
Di
desa, di kota, di ini negeri, dan negeri mana saja yang ada di bumi,
Kopi
dicari, kopi dinikmati, sama populernya dengan vodka dan Martini.
Memang
tak hanya di Bukittinggi kebun kopi menjadi penyejuk matahati
Tetapi
tanpa kopi, kota ini mungkin menjadi kurang berarti … bravo kopi.
Yah,
memori kopi pagi di Bukittinggi, tak pernah bosan terus bernyanyi,
Mentautkan
jembatan ingatan di masa lalu, masa kini dan masa nanti.
Secangkir Kopi di
Bukittinggi
Kucicipi
sendiri,
Dari
cangkir keramik ini negeri.
Harumnya
kopi,
Tanaman kebun sendiri di Bukittinggi.
Ingatan
berlari,
Menjauh
ke masa silam bahari.
Ketika
nagari,
Masih
erat tautkan tangan jari.
Saudara saudari,
Saling tersenyum tanda mereka mengerti.
Kerling berseri,
Lalu kami saling berdansa menari.
Pikiran murni,
Belum dicemari politik dan idiologi.
Yang dimengerti,
Semua bersaudara sesama warga nagari.
Tetapi kini,
Entah apa yang rasuki negeri.
Penguasa negeri,
Seenak perutnya terapkan aturan sendiri.
Lupa
kali,
Kalau mereka tidak hidup menyendiri.
Ada
kami,
Yang
juga anak ini nagari.
Kebun
kopi,
Kami
adukan semua perlakuan ini.
Ini
diskriminasi,
Tidak
boleh itu dan ini.
Seduhan
kopi,
Kami
sampaikan juga nyanyi elegi.
Engkau
mewangi.
Tetapi
tolong jangan lupakan kami.
Sampaikan
kopi,
Bahwa
kami putera tanah ini.
No comments:
Post a Comment