1/05/2013

36



Memori Kopi Pagi di Bukittinggi

Laksana diapit Singgalang dan Marapi disitulah pecah perang padri,
Dan akhir semuanya jelas dan gamblang sekali, padri habis dibasmi,
Sang tuanku gontai melangkahkan kaki, mungkin tidak sampai hati
Melihat bagaimana semua pada berakhir seperti ini, harapan pergi.
Cita- cita tak jelas lagi, semangat bisa terus berkobar bak nyala api,
Tetapi jika bayonet kumpeni terus saja menembus diri, jiwa dan hati,
Bagaimana bisa api tetap garang dikobarkan guna iringi nyanyi elegi?
Semua harus berhenti, serahkan saja semua pada waktu serta hari
Yang biasanya memang ahli dan jagoan menyembuhkan luka nyeri.
Dan … memori kopi pagi di kaki Bukittinggi akhirnya tersimpan rapi,
Sementara Fort de Kock yang konon menyimpan bergudang amunisi
Ditopang oleh kaki-kaki kokoh bukit Jirek yang kala disinari matahari,
Dikitari kebun-kebun kopi, konon indah dan garangnya tidak terperi,
Menjadi saksi betapa sengit pertikaian antar keyakinan dan idiologi.

Langkah berderap, tangan berayun, jiwa menari, sukma bernyanyi,
Inilah kilasan alam berbukit tinggi, hawanya sejuk, kebunnya kopi,
Perannya menjulang tinggi mewarnai lintasan sejarah republik ini.
Nama pemberian kumpeni tetap bertahan lama di ingatan pribumi,
Walau pada akhirnya setelah semua nagari resmi milik ibu pertiwi
Nama bukit tinggi jadi satu pertanda betapa eratnya ikatan pematri.
Lalu semuanya melangkah seiring derapnya pembangunan negeri.
Kumpulan nagari berubah menjadi ibukota nan ramai permai sekali.  

Kumpeni, saudara tua, negeri kincir angin, lalu republik pertiwi NKRI,
Sempat juga menjadi payung pemerintahan darurat untuk republik ini,
Kota ini, entah nasib entah memang takdirnya, tetapi jelas berkali-kali 
Dijadikan pusat kendali, entah untuk perang atau hanya berbenah diri,
Bahkan PRRI Permesta berani dan secara resmi menjadikan kota ini
Sebagai ibupusat negeri yang tentu saja segera ditumpas prajurit TNI.
Sekarang di kota ini memang tak terdengar lagi gejolak lepaskan diri,
Dan terus sibuk berbenah diri membangun pada segala sektor potensi,
Semua yang pernah ada, termasuk kebun kopi, warisan alam nagari,
Lembah, gunung, ngarai, danau, dan bahkan lintasan rel kereta api,
Semua dipoles solek agar lebih menarik bagi wisatawan luar negeri.
Bahkan anak negeri berlomba-lomba kembangkan ilmu potensi diri,
Agar tak ketinggalan kala berderap ikut memasuki dunia tekonologi.
Rumah gadang memang menarik, atap tanduk kerbau punya jati diri,
Lembah, ngarai, kebun dan danau memang elok permai, akan tetapi
Jika hanya mengandalkan ini tanpa sentuhan tekonologi dan inovasi,
Orang tetap datang tetapi bagaimana dengan awak dan diri pribadi?
Bukankah hanya menjadi tontonan serta penonton majunya negeri?

Semakin hijau daunnya, semakin merah kulit buahnya, itu kebon kopi.
Kopi dihidangkan di mana-mana, pagi siang malam, tak jeda berhenti
Di desa, di kota, di ini negeri, dan negeri mana saja yang ada di bumi,
Kopi dicari, kopi dinikmati, sama populernya dengan vodka dan Martini.
Memang tak hanya di Bukittinggi kebun kopi menjadi penyejuk matahati
Tetapi tanpa kopi, kota ini mungkin menjadi kurang berarti … bravo kopi.
Yah, memori kopi pagi di Bukittinggi, tak pernah bosan terus bernyanyi,
Mentautkan jembatan ingatan di masa lalu, masa kini dan masa nanti.



Secangkir Kopi di Bukittinggi

Kucicipi sendiri,
Dari cangkir keramik ini negeri.

Harumnya kopi,
Tanaman kebun sendiri di Bukittinggi.

Ingatan berlari,
Menjauh ke masa silam bahari.

Ketika nagari,
Masih erat tautkan tangan jari.

Saudara saudari,
Saling tersenyum tanda mereka mengerti.

Kerling berseri,
Lalu kami saling berdansa menari.

Pikiran murni,
Belum dicemari politik dan idiologi.

Yang dimengerti,
Semua bersaudara sesama warga nagari.

Tetapi kini,
Entah apa yang rasuki negeri.

Penguasa negeri,
Seenak perutnya terapkan aturan sendiri.

Lupa kali,
Kalau mereka tidak hidup menyendiri.

Ada kami,
Yang juga anak ini nagari.

Kebun kopi,
Kami adukan semua perlakuan ini.

Ini diskriminasi,
Tidak boleh itu dan ini.

Seduhan kopi,
Kami sampaikan juga nyanyi elegi.

Engkau mewangi.
Tetapi tolong jangan lupakan kami.

Sampaikan kopi,
Bahwa kami putera tanah ini.


No comments:

Post a Comment