Menanggalkan Nyawa pada Hujan
tatapan mata itu
tak butuh lagi cerah,
hanya
benar-benar lengang ke arah curah air besar yang lama bersemayam, dari tubuh
leluhur yang sama
sedari dulu kau
telah tahu, bahwa ia memang sengaja memanjangkan rambut hitamnya yang sungguh
lurus itu, agar sampai pada permainan catur antar-anakanak rembulan. sekadar
juga membuktikan padamu; bahwa ia sanggup terlena dengan segala kecermatan,
serta kesabaran.
sedari dulu
kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan,
lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini...
kau: yang
beberapa hari lalu meminjam payung, sekaligus meminjam sembilu, di gubuk
tidurku yang mungil. tak lupa pula kau tinggalkan sebuah pesan ringan ─yang
seperti enggan untuk berbunyi─
"aku akan mengembalikannya...,
secepatnya..."
hmm; rupanya kau
lupa ya..., akan warna-warna kesukaannya. cobalah kau mulai mengingat-ingat
kembali, bukankah ia selalu bermusuhan dengan warna cerah? rupanya kau jadi benar-benar
lupa, bahwa atap payung itu berwarna cerah, dan amat berkilauan.
sedari dulu
kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan,
lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini...
maka; sadarilah
dengan segera bahwa: ia bulat hati sedang ingin menjadi hujan yang teguh (membasahi
tulang berjantung sembilu yang sepenuhnya disembunyikan serupa rahasia-rahasia
besar manusia); datang dan turun padamu; membatalkan niat juga pertahananmu,
untuk menggunakan payung ─yang masih belum kau kembalikan padaku, hingga aku
telah terbangun dari serangkaian mimpi burukku, melucuti pesan ringan itu
dengan airmata, serta seisi kepalamu yang kini berburai di lapak pengungsi
sunyi, setelah kabur dari hukuman mati yang dimahkotai pagi
2012
No comments:
Post a Comment