1/05/2013

35



Menanggalkan Nyawa pada Hujan
   
tatapan mata itu tak butuh lagi cerah,
hanya benar-benar lengang ke arah curah air besar yang lama bersemayam, dari tubuh leluhur yang sama

sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia memang sengaja memanjangkan rambut hitamnya yang sungguh lurus itu, agar sampai pada permainan catur antar-anakanak rembulan. sekadar juga membuktikan padamu; bahwa ia sanggup terlena dengan segala kecermatan, serta kesabaran.
sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan, lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini...
kau: yang beberapa hari lalu meminjam payung, sekaligus meminjam sembilu, di gubuk tidurku yang mungil. tak lupa pula kau tinggalkan sebuah pesan ringan ─yang seperti enggan untuk berbunyi─
   "aku akan mengembalikannya..., secepatnya..."

hmm; rupanya kau lupa ya..., akan warna-warna kesukaannya. cobalah kau mulai mengingat-ingat kembali, bukankah ia selalu bermusuhan dengan warna cerah? rupanya kau jadi benar-benar lupa, bahwa atap payung itu berwarna cerah, dan amat berkilauan.

sedari dulu kau telah tahu, bahwa ia sering nekat terjun dan menanggalkan nyawa pada hujan, lalu ia tiada bosannya berkelana sendiri, hingga bersumpah akan menemu dirimu,
di sini...
maka; sadarilah dengan segera bahwa: ia bulat hati sedang ingin menjadi hujan yang teguh (membasahi tulang berjantung sembilu yang sepenuhnya disembunyikan serupa rahasia-rahasia besar manusia); datang dan turun padamu; membatalkan niat juga pertahananmu, untuk menggunakan payung ─yang masih belum kau kembalikan padaku, hingga aku telah terbangun dari serangkaian mimpi burukku, melucuti pesan ringan itu dengan airmata, serta seisi kepalamu yang kini berburai di lapak pengungsi sunyi, setelah kabur dari hukuman mati yang dimahkotai pagi

2012

No comments:

Post a Comment