Gita Cinta Anak
Negeri
pada rembang petang di ujung tahun
aku dengar dawaimu kembali mengalun
sesaat aku terkesiap, tertegun
ingat pada sebingkai hati yang entah
di rimbun kebun mana
engkau pajang dan jaga penuh rahasia
di sini aku masih mengenang kala lalu
ketika angka kalender tanggal
satu-satu
serasa ujung ribuan jarum
menghunjami kalbu
membilurkan sebuncah rindu
kudengar telah kau pahat ribuan
kisah di setiap simpang
hingga lampu-lampu jalan lupa pada warnanya
dan para pemabuk sempoyongan dalam rangsang yang lena
lupa pada peta mana jalan pulang
tidak mengapa
aku ingin tetap di sini lebih lama
menunggu lengah malam menyingkap
selimut angkuhnya
sebab pijar mahacahaya telah
mempersiapkan sayap kaca benggala
bagi kelana hidupku ke rimba fana
lalu aku akan menjemputmu
menjauhkanmu dari setiap lelaki
pengumbar nafsu
yang hanya menancapkan penyakit kelamin di sekujur liangmu
:berahi ambisi penuh sembilu
usah sedih,
aku memang bukan gajah mada
yang merangkai katulistiwa dengan
sumpah palapa
juga bukan pemuda digdaya
yang punya ajian sumpah pemuda
aku hanya bujang kelana
yang ingin menjagamu sepenuh jiwa
tanpa sumpah
tanpa aji-aji
tanpa janji
kecuali sebilah puisi
yang kugubah menjadi melodi abadi
yang akan berkumandang di sepanjang
persadamu, bumi pertiwi
(Jember,
Desember 2012)
Sebuah Skenario
Drama Kolosal
kutemukan skenario sebuah drama
kolosal
monolog pertama hanya kalkulasi
matematis jahil
serupa gerutu anak kembar yang
merasa diperlakukan tidak adil:
“sekian persen telah terjatah bagi
sang perancang
sebagian menjadi hak para comblang
sebagian lagi mengalir liar ke
rekening pengembang
lalu? aku yang sejak awal mengawal
pintu peluang
apa hanya ditumbalkan menjadi pecundang ?
o, tidak, aku juga bisa mengubah diri menjadi pengemplang
semahir bengkarung menyulap tampang”
kubaca skenario sebuah drama kolosal
bersampul darah
babak demi babak dari sebuah episode
merah
seorang buruh rebah pasrah berlumur
darah
di kepalanya bersarang peluru timah
yang aparat lesakkan dari senapan berlaras titah
dari busa mulutnya menggema desis serapah
tentang arogansi jebakan sejarah
yang menggiring nasibnya ke lumbung
sampah
kembali kubaca skenario sebuah drama
kolosal
tidak ada dialog atau monolog menonjol
hanya parentesis peran monopoli seorang tokoh sentral
menendang para pedagang dari kafilahnya yang banal
menggantinya dengan gurita niaga global
membangun taman surga bagi para pemodal
:swalayan penyedia segala nestapa
bagi kaum marginal
seluruh skenario sebuah drama
kolosal telah tuntas kubaca
terlintas gersang membentang bumi nusantara
dan ekploitasi air mata dari para jelata
tak lagi mampu suburkan kembali tanah surga kita
(Jember, Desember
2012)
Hikayat Kali Porong
mulanya sebuah kerelaan
dari mata air arjuno
menandai ritual cintanya
menuju percumbuan di muara
selat madura
kenangan terpahat indah di
padas gili-gili
ketika kecipak-kecipung
tujuh bidadari
mengalunkan serunai asmara
di dada setiap laki-laki
seindah pendar matahari
melukis pelangi
entah, suatu kebosanan atau
keusangan
jutaan purnama mengubah
setiap percik kenangan
menjadi dongeng misteri klasik yang sempurna terprasastikan
pada akhirnya kembali pada kerelaan air mata mata air
menampung setiap kesah
mengusung segala kisah:
tentang lumpur yang meletup-letup mengubur jutaan kisah cinta
setelah tak mampu membawa mimpi ke alam nyata
selain
janji-janji yang entah kapan terwujud merata
tentang orok yang teronggok kaku di kardus lusuh
setelah gagal menyembunyikan jejak nista ibunya
tentang ribuan lalat yang asyik mencumbui aroma busuk
dari sisa-sisa peradaban yang katanya sudah
lama berjaya
tentang gelepar tarian ikan
setelah menikmati kelezatan semu
dari hidangan kebiadaban manusia
tentang keruh wajah para pemancing yang terpancung
oleh lapar anak istrinya
setelah gagal menemukan ikan penopang hidupnya
dan tentang resah anak cucu kita
setelah cuma kegagalan yang kelak kita wariskan
(Tuban-Jember, Desember
2012)
Lata
ada sepancar warna fajar
menyingkap tabir kelam malam memar
ketika aku mabuk dalam lelap
di istana hina yang geriap pengap
dan aku malu pada jamaah gangsir
yang semalaman menggaungkan senandung dzikir
(Jember, Desember 2012)
Cita
ada secangkir syahwat di aroma kopi
yang istri tulus suguhkan pagi-pagi
membumbung jauh menuju tempat paling ilahi
memandu matahari menyiangi bumi
(Jember, Desember 2012)
Cinta
ada rinai cemas membasahi rindu
dan aku terperangkap dalam ngilu waktu
di kesunyian yang sendiri didih rindu kian mengental
menunggu senyum di sengal nafas saat ajal
sebab sejak saat itu benang kasih
Tuhan bisa dipintal
menjadi ribuan warna bunga-bunga abadi
yang kelak dipakai menyunting
empatpuluh bidadari
menyemai kelezatan yang tak terbagi
(Jember,
Desember 2012)
Dusta
ada kilat belati di ujung lidahmu
diam-diam kau pendam di dalam kepalaku
sambil komat-kamit mulut amismu merapal bual
abai pada gigi nuranimu yang mulai rompal
karena memang kau basuh dengan air
seribu kembang gombal
sementara perihku hanya merintih
berbagi air mata dalam sesal
(Tuban,
2012)
Doa
menyapa dengan cinta
meminta dalam luka
seduh demi seduh air mata kutuang
dalam dzikir-dzikir luka
perih terasa mengaum di malam-malam renta
ada selintas kelebat mahalembut
menelanjangi tubuh berkarat
sedang sepuluh ujung jariku gemetar
menganyam rintih
doaku tergubah penuh gelisah
merepih karena letih
memilih dengan rintih
(Jember,
Desember 2012)
Ibu Jadah
melodi yang engkau senandungkan
diantara erangan dan gelinjang
terus mengalun terus mengalir terus
meruncing
ke puncak gelombang dendam
gelombang yang pernah kau percikkan
di nanar mata para pecundang
aku yang terlahir dalam keterpaksaan
hina
cuma menemukan keabadian cintamu di
lanskap pusara
jejak terakhir liku hidupmu dari
gelimang pesta-pesta
setelah tak sanggup meretas batas
usia
maafkan,
bila sekuntum doa belum sempat
kuperabukan
sebab
kaki terlanjur hancur oleh ngiang tangis sesalan
(Jember,
2011)
Sebuah Perjalanan
: anakku
ketika
tangis pertama kau bentangkan di sayap rinduku
aku
menunggu di rimbun cuaca yang memulas raut purnama ibumu
dalam
desah gelisah tapi penuh gairah
menunggu
sampai sejauh mana parau suaramu
merepih
angkuhnya dunia
menjeritlah
sayang, selagi bisa mengeja
lukisan
gerimis di lengkung bianglala
saat
gerak pertama kau hentakkan di bumi mimpiku
aku
menjagamu di kolong luka waktu yang teriris dusta
dalam gamang linang tapi tetap riang
menjaga
agar engkau tak tersesat di rumpang simpang
yang
menjebakmu pada fatamorgana taman rindang
bergetarlah
sayang, selagi masih kukuh kaki berayun
melangkah
ke rimba yang tiba-tiba menjelma belantara gurun
waktu
luka pertama kau bilurkan di sekujur tubuh ibumu
aku
telah titipkan sekuntum senyum
pada
setiap kumbang di rekah segala kembang
untuk
kelak kau kenang betapa hidup cuma numpang nampang
serupa potret memudar di bingkai usang
lekang
oleh rentang waktu yang sia-sia terbuang
remukkan
tubuhmu sayang, bila nafas masih mencium aroma dosa
dari
lezat sesaat hidangan yang berabad-abad terjaga tipudayanya
Jember,
Mei 2010
No comments:
Post a Comment