1/05/2013

59

Gita Cinta Anak Negeri

pada rembang petang di ujung tahun
aku dengar dawaimu kembali mengalun
sesaat aku terkesiap, tertegun
ingat pada sebingkai hati yang entah di rimbun kebun mana
engkau pajang dan jaga penuh rahasia
di sini aku masih mengenang kala lalu
ketika angka kalender tanggal satu-satu
serasa ujung ribuan jarum menghunjami kalbu
membilurkan sebuncah rindu

kudengar telah kau pahat ribuan kisah di setiap simpang
hingga lampu-lampu jalan lupa pada warnanya
dan para pemabuk sempoyongan dalam rangsang yang lena
lupa pada peta mana jalan pulang

tidak mengapa
aku ingin tetap di sini lebih lama
menunggu lengah malam menyingkap selimut angkuhnya
sebab pijar mahacahaya telah mempersiapkan sayap kaca benggala
bagi kelana hidupku ke rimba fana
lalu aku akan menjemputmu
menjauhkanmu dari setiap lelaki pengumbar nafsu
yang hanya menancapkan penyakit kelamin di sekujur liangmu
:berahi ambisi penuh sembilu
usah sedih,
aku memang bukan gajah mada
yang merangkai katulistiwa dengan sumpah palapa
juga bukan pemuda digdaya
yang punya ajian sumpah pemuda
aku hanya bujang kelana
yang ingin menjagamu sepenuh jiwa
tanpa sumpah
tanpa aji-aji
tanpa janji
kecuali sebilah puisi
yang kugubah menjadi melodi abadi
yang akan berkumandang di sepanjang persadamu, bumi pertiwi

(Jember, Desember 2012)











Sebuah Skenario Drama Kolosal

kutemukan skenario sebuah drama kolosal
monolog pertama hanya kalkulasi matematis jahil
serupa gerutu anak kembar yang merasa diperlakukan tidak adil:
“sekian persen telah terjatah bagi sang perancang
sebagian menjadi hak para comblang
sebagian lagi mengalir liar ke rekening pengembang
lalu? aku yang sejak awal mengawal pintu peluang
apa hanya ditumbalkan menjadi pecundang ?
o, tidak, aku juga bisa mengubah diri menjadi pengemplang
semahir bengkarung menyulap tampang” 

kubaca skenario sebuah drama kolosal bersampul darah
babak demi babak dari sebuah episode merah
seorang buruh rebah pasrah berlumur darah
di kepalanya bersarang peluru timah
yang aparat lesakkan dari senapan berlaras titah
dari busa mulutnya menggema desis serapah
tentang arogansi jebakan sejarah
yang menggiring nasibnya ke lumbung sampah





kembali kubaca skenario sebuah drama kolosal
tidak ada dialog atau monolog menonjol
hanya parentesis peran monopoli seorang tokoh sentral
menendang para pedagang dari kafilahnya yang banal
menggantinya dengan gurita niaga global
membangun taman surga bagi para pemodal
:swalayan penyedia segala nestapa bagi kaum marginal

seluruh skenario sebuah drama kolosal telah tuntas kubaca
terlintas gersang membentang bumi nusantara
dan ekploitasi air mata dari para jelata
tak lagi mampu suburkan kembali tanah surga kita

(Jember, Desember 2012)












Hikayat Kali Porong


mulanya sebuah kerelaan dari mata air arjuno
menandai ritual cintanya
menuju percumbuan di muara selat madura

kenangan terpahat indah di padas gili-gili
ketika kecipak-kecipung tujuh bidadari
mengalunkan serunai asmara di dada setiap laki-laki
seindah pendar matahari melukis pelangi

entah, suatu kebosanan atau keusangan
jutaan purnama mengubah setiap percik kenangan
menjadi dongeng misteri klasik yang sempurna terprasastikan

pada akhirnya kembali pada kerelaan air mata mata air
menampung setiap kesah
mengusung segala kisah:
tentang lumpur yang meletup-letup mengubur jutaan kisah cinta
setelah tak mampu membawa mimpi ke alam nyata
            selain janji-janji yang entah kapan terwujud merata
tentang orok  yang teronggok kaku di kardus lusuh
            setelah gagal menyembunyikan jejak nista ibunya
tentang ribuan lalat yang asyik mencumbui aroma busuk
            dari sisa-sisa peradaban yang katanya sudah lama berjaya
tentang gelepar tarian ikan
            setelah menikmati kelezatan semu
            dari hidangan kebiadaban manusia
tentang keruh wajah para pemancing yang terpancung
            oleh lapar anak istrinya
            setelah gagal menemukan ikan penopang hidupnya
dan tentang resah anak cucu kita
            setelah cuma kegagalan yang kelak kita wariskan

(Tuban-Jember, Desember 2012)




























Lata

ada sepancar warna fajar
menyingkap tabir kelam malam memar
ketika aku mabuk dalam lelap
di istana hina yang geriap pengap
dan aku malu pada jamaah gangsir
yang semalaman menggaungkan senandung dzikir

(Jember, Desember 2012)
















Cita

ada secangkir syahwat di aroma kopi
yang istri tulus suguhkan pagi-pagi
membumbung jauh menuju tempat paling ilahi
memandu matahari menyiangi bumi

(Jember, Desember 2012)


















Cinta

ada rinai cemas membasahi rindu
dan aku terperangkap dalam ngilu waktu

di kesunyian yang sendiri didih rindu kian mengental
menunggu senyum di sengal nafas saat ajal
sebab sejak saat itu benang kasih Tuhan bisa dipintal
menjadi ribuan warna bunga-bunga abadi
yang kelak dipakai menyunting empatpuluh bidadari
menyemai kelezatan yang tak terbagi

(Jember, Desember 2012)













Dusta

ada kilat belati di ujung lidahmu
diam-diam kau pendam di dalam kepalaku
sambil komat-kamit mulut amismu merapal bual
abai pada gigi nuranimu yang mulai rompal
karena memang kau basuh dengan air seribu kembang gombal
sementara perihku hanya merintih berbagi air mata dalam sesal

(Tuban, 2012)
















Doa

menyapa dengan cinta
meminta dalam luka

seduh demi seduh air mata kutuang dalam dzikir-dzikir luka
perih terasa mengaum di malam-malam renta
ada selintas kelebat mahalembut
menelanjangi tubuh berkarat
sedang sepuluh ujung jariku gemetar menganyam rintih

doaku tergubah penuh gelisah
merepih karena letih
memilih dengan rintih

(Jember, Desember 2012)










Ibu Jadah

melodi yang engkau senandungkan
diantara erangan dan gelinjang
terus mengalun terus mengalir terus meruncing
ke puncak gelombang dendam
gelombang yang pernah kau percikkan di nanar mata para pecundang

aku yang terlahir dalam keterpaksaan hina
cuma menemukan keabadian cintamu di lanskap pusara
jejak terakhir liku hidupmu dari gelimang pesta-pesta
setelah tak sanggup meretas batas usia  

maafkan,
bila sekuntum doa belum sempat kuperabukan
sebab kaki terlanjur hancur oleh ngiang tangis sesalan         

(Jember, 2011)








Sebuah Perjalanan
                        : anakku
                                                                                             
ketika tangis pertama kau bentangkan di sayap rinduku
aku menunggu di rimbun cuaca yang memulas raut purnama ibumu
dalam desah gelisah tapi penuh gairah
menunggu sampai sejauh mana parau suaramu
merepih angkuhnya dunia

menjeritlah sayang, selagi bisa mengeja
lukisan gerimis di lengkung bianglala

saat gerak pertama kau hentakkan di bumi mimpiku
aku menjagamu di kolong luka waktu yang teriris dusta
dalam gamang linang tapi tetap riang            
menjaga agar engkau tak tersesat di rumpang simpang
yang menjebakmu pada fatamorgana taman rindang

bergetarlah sayang, selagi masih kukuh kaki berayun
melangkah ke rimba yang tiba-tiba menjelma belantara gurun


waktu luka pertama kau bilurkan di sekujur tubuh ibumu
aku telah titipkan sekuntum senyum
pada setiap kumbang di rekah segala kembang
untuk kelak kau kenang betapa hidup cuma numpang nampang
serupa potret memudar di bingkai usang
lekang oleh rentang waktu yang sia-sia terbuang

remukkan tubuhmu sayang, bila nafas masih mencium aroma dosa
dari lezat sesaat hidangan yang berabad-abad terjaga tipudayanya

Jember, Mei 2010

No comments:

Post a Comment