1/05/2013

32



HUJAN  DESEMBER

gerimis mengecup bibir amoy bermata sipit itu
yang menjilat kehangatan sebungkah roti
di bawah cahaya berlampion warna-warni
pipinya bak daun keladi, rinai meluncur begitu saja
lalu lonceng itu menggema, bertalu-talu
mengiringi hujan yang kian nakal, digumul angin
menyelingkuhi rambu-rambu di parkiran

aku tertancap bagai pohon tak berdaun
lalu desir suara ular meliuk menyirap darahku
lampion itu, ya lampion itu membawaku
ke sebuah kota yang lenyap seketika
ditimbun bah dari samudra

hujan desember membasuh segalanya
mengguyur cinta habis-habis
menyisakan ngilu di bibir amoy
yang melenggangkan kehangatan
membenamkan keyakinan benar

(Padang, 26 Desember 2012)











SEPERTI DAKOCAN

Seperti dakocan merah dan kuning; dimatikan lawan sambil senyum mengakhiri permainan kartu menjelang subuh, hemaglobin merapung, adrenalin melemahkan denyut jantungku. Sementara di sana, puluhan poster dan spanduk memanaskan api, mencairkan dahak atas perselingkuhan hukum yang saling orgasme, entah siapa yang melakukan penetrasi, mereka mengaku paling gagah dan jago meski ke duanya layu dan perlu ditegakkan kembali.

Aku masih ingin menyusun kartu-kartu itu, meski tanpa yoker yang seenaknya keluar masuk ke segala sektor kehidupan ini, untuk memastikan siapa maling yang paling kondang di antara kawan sepermainan ini.

(Padang, 6 Oktober 2012)





SAJAK GALODO

panas terik di sesiang itu, menyuburkan air di awan-awan
lalu mencari akar tetumbuhan dan melumpuhkan kaki perbukitan
nun di hulu!

mereka menyebutnya galodo; merubuhkan telaga di hulu sungai
air mengirim kepedihan bagai ular meluncur meliuk turun
menerkam harapan, memamah kekayaan 
dan ia menggenang, sunyi!

siapa yang membisu dalam kegelapan?
berderak-derak material, gabak mencengkramkan kakinya
meretas tanggul-tanggul mencair ke hilir memporandakan segala
sawah ladang pun pasrah, menanti petani kembali membelainya
tapi bajak dan cangkul jadi tumpul, suaranya terpuruk
disungkup pataka partai, yang berebut mencakar kekuasaan

galodo tak pernah lelah,
kekuatannya mencair di rawa-rawa di akar rerumputan
sabar menanti matahari kembali menguapkannya
ke langit sana.


Padang, 5 Agustus 2012


SUSU BERSANTAN

Angin diam, tupai melompati pohon kelapa lalu mematuk buahnya yang ranum
diam-diam ia memilih dan memilih lalu mengerek dan menghisap air kelapa
bagaikan bayi meneteki susu ibunya

Tiba-tiba angin menggoyang daun kelapa yang melambai pelan, tupai menyiasati
atmosfir yang berubah. Sang ibu menutup teteknya agar tak masuk angin

Bersantan juga air susu ibu, rupanya!


(Banda Aceh, 22 0ktober 2012)






PADAMU, AKU

pada apimu, aku memanggang
menghanguskan segala pantang


pada airmu aku membasuh
hingga kesucian kembali subuh


pada tanahmu aku menimbun
hingga merimbun segala daun


pada anginmu aku bernafas
hingga hidupku jadi pantas


pada lautmu, aku mengombak
hingga nyaliku bisa mendongak


pada gunungmu, aku mendaki
hingga sombongku lepas pergi


pada cahayamu, aku bermata
hingga terang segala jiwa


pada malammu, aku bergumam
hingga lafasku melepas dendam

pada lurahmu, aku tafakur
hingga luruh segala kabur


 (Putra Jaya, 27 Sept 2012)

No comments:

Post a Comment