HUJAN DESEMBER
gerimis mengecup bibir amoy bermata
sipit itu
yang menjilat kehangatan sebungkah
roti
di bawah cahaya berlampion
warna-warni
pipinya bak daun keladi, rinai
meluncur begitu saja
lalu lonceng itu menggema,
bertalu-talu
mengiringi hujan yang kian nakal,
digumul angin
menyelingkuhi rambu-rambu di
parkiran
aku tertancap bagai pohon tak
berdaun
lalu desir suara ular meliuk
menyirap darahku
lampion itu, ya lampion itu
membawaku
ke sebuah kota yang lenyap seketika
ditimbun bah dari samudra
hujan desember membasuh segalanya
mengguyur cinta habis-habis
menyisakan ngilu di bibir amoy
yang melenggangkan kehangatan
membenamkan keyakinan benar
(Padang, 26 Desember 2012)
SEPERTI DAKOCAN
Seperti dakocan merah dan kuning; dimatikan
lawan sambil senyum mengakhiri permainan kartu menjelang subuh, hemaglobin
merapung, adrenalin melemahkan denyut jantungku. Sementara di sana, puluhan
poster dan spanduk memanaskan api, mencairkan dahak atas perselingkuhan hukum
yang saling orgasme, entah siapa yang melakukan penetrasi, mereka mengaku
paling gagah dan jago meski ke duanya layu dan perlu ditegakkan kembali.
Aku masih ingin menyusun
kartu-kartu itu, meski tanpa yoker yang seenaknya keluar masuk ke segala sektor
kehidupan ini, untuk memastikan siapa maling yang paling kondang di antara
kawan sepermainan ini.
(Padang, 6 Oktober 2012)
SAJAK GALODO
panas terik di sesiang itu, menyuburkan
air di awan-awan
lalu mencari akar tetumbuhan dan melumpuhkan
kaki perbukitan
nun di hulu!
mereka menyebutnya galodo; merubuhkan
telaga di hulu sungai
air mengirim kepedihan bagai ular meluncur
meliuk turun
menerkam harapan, memamah
kekayaan
dan ia menggenang, sunyi!
siapa yang membisu dalam kegelapan?
berderak-derak material, gabak
mencengkramkan kakinya
meretas tanggul-tanggul mencair ke
hilir memporandakan segala
sawah ladang pun pasrah, menanti
petani kembali membelainya
tapi bajak dan cangkul jadi tumpul,
suaranya terpuruk
disungkup pataka partai, yang
berebut mencakar kekuasaan
galodo tak pernah lelah,
kekuatannya mencair di rawa-rawa di
akar rerumputan
sabar menanti matahari kembali menguapkannya
ke langit sana.
Padang, 5 Agustus 2012
SUSU BERSANTAN
Angin diam, tupai melompati pohon
kelapa lalu mematuk buahnya yang ranum
diam-diam ia memilih dan memilih
lalu mengerek dan menghisap air kelapa
bagaikan bayi meneteki susu ibunya
Tiba-tiba angin menggoyang daun
kelapa yang melambai pelan, tupai menyiasati
atmosfir yang berubah. Sang ibu
menutup teteknya agar tak masuk angin
Bersantan juga air susu ibu,
rupanya!
(Banda Aceh, 22 0ktober
2012)
PADAMU, AKU
pada apimu, aku memanggang
menghanguskan segala pantang
pada airmu aku membasuh
hingga kesucian kembali subuh
pada tanahmu aku menimbun
hingga merimbun segala daun
pada anginmu aku bernafas
hingga hidupku jadi pantas
pada lautmu, aku mengombak
hingga nyaliku bisa mendongak
pada gunungmu, aku mendaki
hingga sombongku lepas pergi
pada cahayamu, aku bermata
hingga terang segala jiwa
pada malammu, aku bergumam
hingga lafasku melepas dendam
pada lurahmu, aku tafakur
hingga luruh segala kabur
(Putra Jaya, 27 Sept 2012)
No comments:
Post a Comment