Kawan Lama
Muaradua. Petang ini, lagi-lagi
aku terjatuh. Terhempas pada harum masa lalu, pada sisa perjalanan yang dulu tak
sempat lama dan kita menjadi satu. Aku memandang kamu semata bayang utuh. Duduk
menepi di panjang Selabung yang separuh
tenang separuh keruh; di hulu sana, kudapati matahari telah hilang sempurna. Seperti
tengah membawa pergi entah ke mana kenyataanmu, serta gelak tawa kita yang ranum-manis
juga air mata sedu. Kemudian tumpah, tumpahlah aku dan kenangan ke sungai
batu-batu. Satu per satu.
Aku diam dan tak henti membaca cuaca.
Barangkali sehabis ini, musim begitu cerah mengajakmu pulang ke rumah, sehingga
kita kembali mendekat, tabah untuk saling bertukar kabar; aku menyerahkan
sebagian cerita tentang kampung kita ke lekuk wajahmu, sedang kamu bahagia mengabarkan
bahwa sebetulnya kota memang kerap melepaskan luapan panas yang terus meninggi dan
jarum-jarum hujan yang terbakar berminggu lamanya. Kamu setumpuk bukti. Betul
rantau serupa pesinggahan yang membikin kaki semakin kokoh berdiri.
Sembari menunggu kedatangan detak
jantung kamu, kuntum kisah lampau begitu tak henti mekar di ruang kepalaku. Cuk Mak Ilang kian merdu, bertahan dalam
derit napas dan paru, membisikkan kepada pikiran agar segera saja bermain ekar, telpak-an, atau berkejar-kejaran
di ujung Talang Pancur yang teduh. Meski tanpa kamu. Sudah bertahun sunyi ini
tumbuh di mataku. Bertandanglah lagi secepat mungkin, berikut sauh dengan
segala aroma dingin yang kuyakin sangat tebal melekat di sekujur tubuhmu.
Bogor, 31 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment