12/20/2012

19



Kawan Lama

Muaradua. Petang ini, lagi-lagi aku terjatuh. Terhempas pada harum masa lalu, pada sisa perjalanan yang dulu tak sempat lama dan kita menjadi satu. Aku memandang kamu semata bayang utuh. Duduk menepi di panjang Selabung yang separuh tenang separuh keruh; di hulu sana, kudapati matahari telah hilang sempurna. Seperti tengah membawa pergi entah ke mana kenyataanmu, serta gelak tawa kita yang ranum-manis juga air mata sedu. Kemudian tumpah, tumpahlah aku dan kenangan ke sungai batu-batu. Satu per satu.
Aku diam dan tak henti membaca cuaca. Barangkali sehabis ini, musim begitu cerah mengajakmu pulang ke rumah, sehingga kita kembali mendekat, tabah untuk saling bertukar kabar; aku menyerahkan sebagian cerita tentang kampung kita ke lekuk wajahmu, sedang kamu bahagia mengabarkan bahwa sebetulnya kota memang kerap melepaskan luapan panas yang terus meninggi dan jarum-jarum hujan yang terbakar berminggu lamanya. Kamu setumpuk bukti. Betul rantau serupa pesinggahan yang membikin kaki semakin kokoh berdiri.
Sembari menunggu kedatangan detak jantung kamu, kuntum kisah lampau begitu tak henti mekar di ruang kepalaku. Cuk Mak Ilang kian merdu, bertahan dalam derit napas dan paru, membisikkan kepada pikiran agar segera saja bermain ekar, telpak-an, atau berkejar-kejaran di ujung Talang Pancur yang teduh. Meski tanpa kamu. Sudah bertahun sunyi ini tumbuh di mataku. Bertandanglah lagi secepat mungkin, berikut sauh dengan segala aroma dingin yang kuyakin sangat tebal melekat di sekujur tubuhmu.

Bogor, 31 Oktober 2012

No comments:

Post a Comment